Oleh : Gilang Cahyo N T[1]
Bicara
terkait pendidikan dewasa ini, menjadi sebuah topic yang asyik didiskusikan di
kalangan kaum-kaum intelektual mengingat moment hari pendidikan nasional
Indonesia. Menjadi sebuah hal yang dianggap lumrah dibicarakan karena mengingat
pendidikan yang ada, dalam pelaksanaannya hari ini masih banyak terdapat
berbagai permasalahan yang cukup pelik yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Hingga
pada akhirnya menjadi sebuah tugas proyek besar yang menuntut diselesaikan oleh
pemerintah dan peran serta masyarakat bangsa Indonesia. Pendidikan yang bermutu
tinggi hingga pada akhiranya dapat mencetak output sumber daya manusia yang
handal dan mampu bersaing dalam persaingan nasional maupun internasional
menjadi tujuan utama yang dicita-citakan bangsa.
Dalam
konteks pendidikan di Indonesia, definisi Pendidikan itu sendiri diatur secara
yuridis dan sah secara hukum dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara, yang nantinya diharapkan
pendidikan Nasional dapat tercapai.
Pendidikan
Nasional menurut UU yang sama merupakan pendidikan yang berdasarkan kepada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang bersumber
dari nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman. Masih terdapat pada Undang Undang yang sama yang
menjadi dasar adanya perundangan tersebut dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Dari
berbagai pengertian dan tujuan yang telah disebutkan diatas, dapat kita tarik
kesimpulan bahwasannya pendidikan telah memiliki landasan hukum dan acuan
tujuan yang cukup ideal. Namun dengan tujuan yang teramat ‘sempurna’ tersebut
realitas dalam pelaksanaan dan pengambilan keputusan atau kebijakan yang
diambil pemerintahan terkait nampakanya masih banyak terdapat kekeliruan,
ketidaksesuaian bahkan cenderung bertentangan dari apa yang telah di
cita-citakan dalam Undang Undang Sisdiknas tersebut.
PENDIDIKAN
INDONESIA DARI KACAMATA INTERNASIONAL
Pendidikan
Indonesia dirancang untuk bersaing secara langsung dengan dunia internasional. Indonesia
yang notabenenya adalah sebagai Negara berkembang, dituntut pula untuk kemudian
mampu secara internasional bersaing dan bersanding secara kualitas.
Berikut
merupakan fakta dan data survey berbagai lembaga tentang pendidikan di
Indonesia. Menurut survey Political and Economic Risk Consultant (PERC),
kualitas pendidikan di indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di
Asia. Pposisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World
Economic Forum Swedia (2000) Indonesia memiliki daya saing yang rendah yaitu
hanya menduduki urutan ke 37 dari 57 negara yang disurvey di dunia.[2]
Kualitas
pendidikan di Indonesia masih sangat rendah tingkat kompetisi dan relevansinya
(Parawansa, 2001; Siskandar, 2003; Suyanto, 2001). Laporan United Nation
Development Program (UNDP) tahun 2005 mengungkapkan bahwa kualitas
pendidikan di Indonesia menempati posisi ke-110 dari 117 negara.
Laporan UNDP dan PERC tersebut
mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih relatif rendah, hal ini membuktikan
bahwasannya masih banyak yang perlu diperbaiki baik dari segi kebijakan
(undang-undang dan peraturan pemerintah) maupun segi pelaksanaan yang hari ini
masih dengan pengawasannya yang tidak cukup ketat bahkan cenderung ‘lepas
tangan’.
POTRET PENDIDIKAN INDONESIA MASA
KINI
Seperti halnya telah dipaparkan
diatas, bahwasannya konsep pendidikan secara yuridis atau hukum telah sesuai
dengan ideology dan peraturan dalam Undang Undang Dasar 1945, namun sangat
disayangkan pada tahap implementasinya di lapangan masih terdapat berbagai
permasalahan yang cukup krusial dan menuntut untuk diselesaikan.
Pertama,
Apabila kita perhatikan dalam konstitusi pendidikan UU SISDIKNAS No.20
tahun 2003 dan peraturan pemerintah No.19 tahun 2005 ujian nasional dalam
Undang Undang Sisdiknas pasal 57 sampai dengan pasal 59 hanya mengatur mengenai
evaluasi pendidikan tidak hanya dengan bentuk ujian nasional. Namun apabila
kita perhatikan pada peraturan pemerintah No.19 tahun 2005 barulah peraturan
mengenai ujian nasional diamanatkan.
Ujian nasional merupakan salah satu
bentuk evaluasi pendidikan yang pada saat ini digunakan dalam evaluasi pembelajaran di Indonesia. Meskipun pada November tahun 2009
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan menghapus system yang berlaku pada Ujian
Nasional (UN), namun system yang digunakan saat ini pun nampaknya belum terjadi
perubahan yang signifikan.
Pada dasarnya tujuan ujian nasional
adalah memberikan evaluasi terhadap peserta didik akan materi yang telah
diterima selama masa studinya, namun dalam implementasi pada saat ini ujian
nasional justru menjadi hal yang teramat menakutkan bagi para peserta didik,
pasalnya ujian nasional hari ini dijadikan satu-satunya penentu kelulusan bagi
para peserta didik. Hal inilah yang rutin setiap tahunnya menjadi sebuah pro
kontra dikalangan masyarakat, bahkan tak ayal menjadi sebuah permasalahan yang
teramat krusial.
System penilaian ujian nasional kini
diubah persentasenya sesuai dengan keputusan bersama dalam persidangan di
Mahkamah Konstitusi (MK), sesuai kesepakatan dengan menjunjung prinsip keadilan
yaitu 40% dari hasil ujian nasional dan
60 % dari hasil lapor belajar peserta didik di sekolah, padahal menurut sri
martini dalam bukunya pengantar ilmu pendidikan, proses pendidikan merupakan
kegiatan utama pengubah input (peserta didik) menjadi output disinlah peran
utama pendidikan. Dalam aktivitas pendidikan tidak hanya melihat hasil, tetapi
justru yang penting adalah prosesnya. Peserta didik yang hasil belajarnya baik, belum tentu karena adanya kecurangan
dalam mengikuti tes[3].
Meskipun pada saat ini system penilaian ujian nasional telah dirubah
persentasenya namun masih saja ujian nasional menjadi suatu hal yang menakutkan
bagi peserta didik.
Apabila kita perhatikan tingkat kelulusan Ujian
Nasional tahun 2010 pada jenjang SMA yang mengalami penurunan yang signifikan daripada
hasil kelulusan Ujian Nasional pada tahun 2009, jika di tahun 2009 persentase
kelulsan mencapai 95,05% sedangkan pada
tahun 2010 persentasenya hanya mencapai 89,61%. Data yang diambil dari data
kementerian pendidikan tersebut menggambarkan kurang relevannya model evaluasi
pendidikan semacam Ujian Nasional digunakan, karena dalam pelaksanaannya hanya
mendorong para pendidik dan peserta didik menggunakan berbagai macam cara untuk
dapat lulus ujian nasional tanpa memperhatikan nilai dan norma yang selama masa
studinya dipelajari, pasalnya ujian nasional sampai saat ini hanya berorientasi
terhadap hasil nilai akhir semata, alih-alih evaluasi justru kehilangan jati
diri karena menghalalkan segala cara untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam
ujian nasional.
Kedua,
aktivitas pendidikan tidak terlepas dari peran guru sebagai komponen yang
penting dalam proses pembelajaran. Dalam pendidikan seorang guru adalah
komponen yang secara langsung terlibat terhadap kualitas serta mutu
pembelajaran.
Apabila kita tengok kepada sejarah
Negara Jepang pada peristiwa perang dunia kedua, seorang kaisar yang pada saat
itu menjabat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, seusai peperangan sang
kaisar bertanya berapa jumlah guru yang bersisa setelah terjadinya peperangan?.
Melalui pertanyaan ini kita sudah dapat menangkap betapa dihargainya peran
seorang guru untuk kemudian memajukan serta membangun sebuah bangsa.
Guru adalah salah satu penentu
kualitas pendidikan di Indonesia, namun dewasa ini kesejahteraan para guru
masih perlu dipertanyakan. Bagaimana tidak, Berdasarkan survey Federasi Guru
Independen Indonesia (FGII) pada tahun 2005, idealnya seorang guru menerima
gaji bulanan sebesar tiga juta rupiah. Sekarang pendapatan rata-rata guru PNS
per bulan sebesar 1.5 juta, guru bantu sebesar 460 ribu, dan guru honorerdi
sekolah swasta rata rata 10 ribu perjam. Dengan pendapatan yang demikian, tidak
cukup besar itulah banyak diantaranya guru yang mencari pekerjaan sampingan
seperti menjadi penjual/wirausaha, tukang ojek, pedagang pulsa ponsel, dan
lain-lain.
Yang paling mengenaskan adalah ada
seorang guru yang mendapatkan jabatan fungsional sebagai seorang kepala sekolah
di daerah Provinsi Jawa Barat harus memulung dan mengumpulkan barang bekas demi
menyambung dan menutup kekurangan ekonomi keluarganya. Meskipun telah
diamanatkan dalam konstitusi pendidikan mengenai kesejahteraan guru dan
dosen pasal 10 sudah menjamin terkait
kelayakan hidup setiap pendidik. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwasannya
guru dan dosen akan mendapatkan penghasilan yang pantas dan memadai, antara
lain meliputi gaji pokok, tunjangan yag melekat pada gaji, tunjangan profesi,
dan atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya.
Ketiga, Rintisan dan atau Sekolah
Bertaraf Internasional (R/SBI) adalah sebuah program pemerintah Indonesia yang
berusaha meningkatkan dan menyamakan kualitas pendidikan Indonesia dengan dunia
internasional. Namun, alih-alih menyamaratakan pendidikan Indonesia dengan
dengan pendidikan internasional justru menjadi ‘boomerang’ tersendiri bagi
pendidikan di Indonesia, bagaimana tidak R/SBI telah berhasil mengubah wajah
pendidikan Indonesia menjadi beberapa kasta.
Data Kemendikbud terdapat 1.300 RSBI
di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut hanya 0,65 % dari seluruh sekolah. Fenomena
R/SBI merupakan salah satu implementasi dari Undang Undang SISDIKNAS pasal 50
ayat 3 yang berbunyi: Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Dengan adanya RSBI juga menimbulkan
berbagai permasalahan yang krusial dan menjadi pro kontra di berbagai kalangan.
Diantara pemasalahan yang timbul diantaranya adalah pengantar bahasa yang
digunakan sekolah SBI adalah bahasa inggris, bentuk komersialisasi pendidikan
yang menyebabkan adanya kastanisasi dan jurang pemisah siswa kaya dan siswa
miskin, mempersempit kesempatan meraih pendidikan bagi rakyat miskin.
Dengan pengantar bahasa asing bahasa
inggris, hal ini sedikit demi sedikit pasti mengikis keberadaan dan penggunaan
bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan peeserta didik yang bersekolah
di Sekolah Bertaraf Internasional. Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan
Daoed Joesoef yang dihadirkan Mahkamah Konstitusi dalam persidangan mengenai UU
Sisdiknas, RSBI pun hanya mengerdilkan identitas bangsa terkait penggunaan
bahasa asing sebagai pengantarnya, penggunaan bahasa inggris dalam pembelajaran
juga adalah bentuk ketidaksesuaian dengan pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi:
bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia.
Menurut Daoed orang Inggris maju
bukan karena bahasa inggris, tetapi
karena mereka membiasakan anak didiknya menggali, mengenal dan mempelajari,
menguasai menghayati, dan menerapkan nilai-nilai yang diakui oleh keluarganya,
masyarakat, dan negaranya. Mantan Mendikbud ini pun menolak dan menuntut
pemerintah untuk secepatnya meniadakan RSBI dari system pendidikan nasional.[4]
Komersialisasi pendidikan mungkin
hal inilah yang relevan menggambarkan pelaksanaan pada RSBI. Salah satu
pelaksanaannya adalah terdapat di SMA N 70 Jakarta , menrut Musni Umar selaku
ketua komite, total Anggran Pendapatan Dan Belanja Sekolah (APBS) SMA 70
Jakarta sekitar 15 miliar bersumber dari orang tua siswa, sedangkan pemerintah
hanya sekitar 4,7 miliar. Selain itu, yang terdapat di SMA 70 Jakarta sumbangan
peserta didik untuk kelas regular dan akselerasi sebesar Rp11,2 juta, sedangkan
untuk kelas internasional jumlahnya sekitar Rp31 juta untuk tahun pertama, Rp24
juta untuk tahun kedua, dan Rp18 juta untuk tahun ketiga. Selain itu, ada
sumbangan rutin bulanan pada kelas regular sebesar Rp450 ribu dan kelas
akselerasi Rp1 juta. [5]
Dengan data yang disebutkan tersebut
sangat jelas menggambarkan bahwa R/SBI telah melanggar hak konstitusional
masyarakat karena biaya yang seharusnya ditanggung pemerintah malah dibebankan
kepada orang tua siswa. Akibat dari berbagai kebijakan ini sangatlah jelas
menciptakan ketidakadilan, menciptakan jurang pemisah sekaligus kesenjangan
social, sebab hanya siswa yang berasal dari kalangan yang memiliki kemampuan
financial yang tinggilah yang dapat menikmati pendidikan internasional
tersebut.
Realitas ini berbanding terbalik
dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat
(1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu”,
pasal 11 ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi”, dan pasal 31 ayat
(1) yang menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.
Dengan adanya Undang Undang System
Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 3 tentang ini perlu kiranya dilakukan peninjauan kembali
terhadap keberadaan pasal terkait,sekaligus sidang uji materi yang adil agar
pendidikan dapat dirasakan semua warga Negara tanpa terkecuali.
Permasalahan pendidikan yang masih perlu dibenahi hari
ini juga adalah terkait anggaran srta pembiayaan pendidikan. Dalam Undang
Undang 1945 menyatakan bahwasannya “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional”. Yang patut menjadi sebuah pernyataan adalah sangat
disayangkan dana alokasi pendidikan seperti yang dinyatakan dalam konstitusi
tersebut masih termasuk gaji pendidik dan tenaga kependidikan, serta dibagi
kepada beberapa kementerian yang menyelenggarakan pendidikan kedinasan. Padahal
dalam Undang Undang System Pendidikan Nasional pasal 49 ayat 1 diamanahkan
bahwa, “ dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
pada sector pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).”
Berikut adalah gambaran terkait anggaran pendidikan tahun
2012:
A
|
ALOKASI PEMERINTAH PUSAT
|
101.547
|
35,02%
|
B
|
TRANSFER
KE DAERAH
|
186.372
|
64,27%
|
C
|
DANA PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NASIONAL
|
1.000,0
|
0,34%
|
Anggaran
Fungsi Pendidikan
|
289.960,00
|
||
|
APBN
|
1.435.000
|
|
|
Prosentase
Anggaran Fungsi Pendidikan
|
20,21%
|
Sumber: presentasi M
Nurhasan Zaidi(anggota komisi X FPKS 2012)
Dari table yang telah tersaji diatas
menunjukkan persentase anggaran pendidikan tahun 2012 mengalami peningkatan
0,21%. Asumsinya dengan adanya peningkatan kebijakan anggaran seharusnya dapat
menopang berkembangnya kinerja maupun kualitas pendidikan Indonesia.
Yang menjadi persoalan anggaran
pendidikan dewasa ini adalah (1) Kegagalan alokasi
anggaran Prioritas anggaran
terlalu banyak, sehingga kebutuhan dasar tidak terpenuhi. (2) Kegagalan distribusi anggaran yang disebabkan
tidak adanya data yang tidak valid di pusat, dan (3) Kurangnya informasi akses anggaran bagi pemerintah daerah,
serta Kegagalan Implementasi Anggaran
Pelaksanaan program tidak sesuai dengan perencanaan dan
panduan yang disusun.
Berbagai persoalan yang timbul dalam
pelaksanaan anggaran pendidikan nampaknya perlu di beri pengawasan yang
gambling serta transparansi dana yang valid sangatlah diperlukan. Hal ini
dikarenakan permasalahan yang terkait dengan keuangan sangatlah rawan terhadap
berbagai penyimpangan. Berikut disajikan data terkait penympangan anggaran
pendidikan yang telah dikaji oleh Indonesian
Corruption Watch di institusi pendidikan tahun 2009:
No
|
Institusi tempat korupsi
|
Jumlah Kasus
|
Kerugian Negara
(Rp Miliar)
|
1
|
Dinas Pendidikan (Provinsi,
Kabupaten dan Kota)
|
70
|
204.3
|
2
|
Sekolah/Madrasah 3
|
46
|
4.1
|
3
|
Perguruan Tinggi
|
7
|
12.1
|
4
|
Sekretariat Daerah5
|
6
|
8.0
|
5
|
Kanwil Depag
|
5
|
1.8
|
6
|
Badan Negara
|
1
|
2.6
|
7
|
DPRD
|
1
|
1.6
|
8
|
LSM
|
1
|
1.0
|
9
|
Organisasi Guru
|
1
|
1.0
|
10
|
Ormas
|
1
|
0.5
|
11
|
Perpustakaan Daerah
|
1
|
0.0
|
12
|
Depdiknas
|
2
|
6.3
|
|
612 Total
|
142
|
243.3
|
Kerugian yang harus ditanggung
Negara akibat penyimpangan dalam pencairan dana pendidikan yang mencapai 243,3
miliar rupiah inilah yang menghambat berkembangnya pendidikan di Indonesia.
Sangat disayangkan memang ketika dana yang seharusnya dapat dikembangkan untuk
pemerataan pendidikan guna pembanguna bangsa malah justru jatuh ke kantong
tikus-tikus berpendidikan.
Dari berbagai permasalahan
pendidikan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia pada saat ini, sudah menjadi tugas besar pemerintahan dan stake holder
pemerintah serta masyarakat untuk saling bersinergi memperbaiki keadaan
sekaligus permasalahan saat ini. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan
bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan
kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Para pendiri bangsa meyakini bahwa
peningkatan taraf pendidikan merupakan salah satu kunci utama mencapai tujuan
negara yakni bukan saja mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga menciptakan
kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban dunia.
Pendidikan mempunyai peranan penting
dan strategis dalam pembangunan
bangsa serta memberi kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Pendidikan akan menciptakan masyarakat terpelajar (educated people) yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat yang maju, mandiri, demokratis, sejahtera, dan bebas dari kemiskinan. Melalui moment hari pendidikan nasional inilah patut kiranya untuk kemudian berintrospeksi diri guna perbaikan pendidikan yang adil dan dapat dirasakan oleh semua kebermanfaatannya.
bangsa serta memberi kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Pendidikan akan menciptakan masyarakat terpelajar (educated people) yang menjadi prasyarat terbentuknya masyarakat yang maju, mandiri, demokratis, sejahtera, dan bebas dari kemiskinan. Melalui moment hari pendidikan nasional inilah patut kiranya untuk kemudian berintrospeksi diri guna perbaikan pendidikan yang adil dan dapat dirasakan oleh semua kebermanfaatannya.
[1] Mahasiswa jurusan Manajemen
Pendidikan regular 2011, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta
[2]
Ganis. Masalah Pendidikan Indonesia. http://www.ganis.blogspot.com. Diunduh
tanggal 26 februari 2012
[3] Sri martini, Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Tahun 2011, page 19
[4] Nurul Adriyana, RSBI Tindakan keliru Dalam Sisdiknas,
Kompas edisi 16 Mei 2012
[5] Syarief Oebadillah, RSBI Andalkan dana orangtua murid. Media
Indonesia edisi 16 Mei 2012