Sabtu, 21 Februari 2015

DEMOKRASI DAN POLITISASI #PejabatBikinSusahAjah Bagian 1

30 September 2014 pukul 11:43

----------------------------------------------------------------
Secara langsung, ada dua makna yang teramat berbeda maknanya antara demokrasi da politisasi. Mari tengok kembali dalam kamus besar bahasa Indonesia. (1) de·mo·kra·si /dĂ©mokrasi/ n Pol 1 (bentuk atau sistem) pemerintahan yg seluruh rakyatnya turut serta memerintah dng perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat; 2 gagasan atau pandangan hidup yg mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yg sama bagi semua warga negara; (2) politisasi /po·li·ti·sa·si/ n hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dsb) bersifat politis *Sumber : http://kbbi.web.id* Ditengok dari arti makna yang ada jelas ada perbedaan tentu. Dimana esesnsi makna dari kata demokrasi adalah persamaan hak bagi setiap warga negara yang berarrti artinya petistiwa ini berlangsung sesuai dengan fitrah yang ada, sangat berbeda dengan politisasi esesnsi makna dari kata ini adalah peristiwa yang dibuat atau diciptakan. Oke, tulisan ini tulisan lepas. So, pikir positif dan santai ajah oke. Saya bukan aktivis partai politik mana pun, bukan juga pengamat politik nasional, atau bahkan konsultan politik, atau politikus apalagi. Hanya mahasiswa Ibukota yang belajar dan asik mengamati berbagai hal termasuk politik. Akhir akhir ini orang orang di jagat media sosial sangat gencar dan tergonjang ganjing dengan beberapa isu dan fakta. Salah satu hal yang ng hits dan jadi bahasan adalah UU Pilkada yang pada akhirnya di putskan pemilihan melalui DPRD dan termasuk UU MD3 (Ga Terlalu banyak jd bahasan, tp cukup nghits)

Inilah Indonesia, yang dengan tingkat kekepoan masyarakatnya yang tinggi, ini menunjukkan sedikit banyak tentang beberapa fakta bahwa itu bentuk kepedulian masyarakat terhadap bangsanya indonesia yag sangat tinggi. Sedikit isu atau fakta, kemudian Banyak orang dengan seketika bicara dan seakan sangat paham tentang politik (termasuk gue mungkin). Bicara UU Pilkada yang diputuskan pada sidang paripurna pada tanggal 25 September 2014, benar benar mengguncang psikologis beberapa orang. Lihat saja banyak orang membuka kebaikan kebaikan atau keunggulan Pemilu melalui DPRD, ada juga yang kemudian menghujat secara terang terangan partai pengusung Pemilu melalui DPRD. Sempat menyaksikan berlangsungnya rapat paripurna di televisi, berlangsung ‘a lot’ dan kaku, sampai emosi dan kelakuan “wakil rakyat” di gedung keong dini hari waktu itu. Sempat menggelengkan kepala dan tarik napas dalam waktu itu. Terbesit pikiran, apa kemudian yang mereka bela disana murni atas dasar kepentingan semua rakyat Indonesia? (Wallahualam) Pada pemilu tahun 2014 ini, partai yang dahulu pernah jadi oposisi kemudian melanggengkan kadernya menjadi Presiden. Hanya di pemilu saat ini, nampaknya jadi pemilu yang ketat dan berlangsung panas. Terdapat 2 poros kekuatan koalisi parta politik, masing-masing saling adu kekuatan dan adu strategi untuk menang waktu itu. Sebut saja PDIP beserta beberapa kroninya dalam politik yang memiliki Platform sejarah ideologi yang sama. Sebut saja PDIP dengan platform ideolog marhaenisme, PKB dengan ideologi pluralisme, Hanura dan Nasdem. Adapula koalisi yang disebut koalisi merah putih, sebagai anggota koalisi yang memiliki anggota lebih banyak dari koalisi parpol lawannya. Sama pun kemudian koalisi ni terbentuk atas dasar kesamaan platform ideologi yang mereka bawa. Sebagai koalisi yang belum berntung pada pemilu tahun ini, saya rasa mereka sudah punya banyak langkah strategis untuk merancang gerakan dalam menjalai perannya sebagai oposisi pemerintahan. Sebagai rakyat indonesia gua coba berpikir sesuai cara berpikir gua sendiri. Sebagai anak muda terlepas dari kalian yang membaca ini termasuk mahasiswa simpatisan partai politik (jangan dinafikkan juga lah yah) atau biasa ajah. Kalo saya boleh berpendapat coba deh mikir bareng pake pemikiran murni dan hati nurani, sepenuhnya kalo saya boleh berpendapat tentang Undang undang, koalisi dan setumpuk kepentingannya. Jujur muak dengan ulah penjabat, hal hal yang berbau partai politik, kepentingan dan berbagai langkah yang mereka tempuh selama ini. Contoh langkah yang diusung mereka adalah produk undang-undang yang mereka gulirkan ini. UU Pilkada misalnya. Hanya ada dua pilihan. Dipilih langsung atau dipilih melalui DPRD. Masing masng koalisi pada ‘ngotot’ mempertahankan argumennya, dengan dalih “MEMBELA RAKYAT” padahal saya pikir itu semata hanya langkah mereka untuk merealisasikan kepentingannya. Jangan sangka koalisi yang menginginkan pilkada langsung oleh rakyat kemudian bergerak dan ‘ngotot’ mengatasnamakan rakyat. Bohong! Kita coba ‘tilik’ sedikit tentang hal ini. Koalisi Partai banteng yang dipimpin mba banteng dan pak presiden joko beserta kroni partai anggota koalisinya menginginkan pilkada langsung dipilih oleh rakyat. Hal ini sudah dapat dipastikan diusung oleh mereka, bagaimana tidak anggota parpol pemenang pemilu ini memeliki anggota lebih sedikit dari koalisi sebelah. Wajar saja jika mereka menginginkan pilkada langsung karena kader partainya yang menang sebagai kepala daerah jumlahnya sangat tidak sebanding dengan koalisis lawannya. Apalagi kader partai yang memegang kekuasaan di ranah legislatif daerah. Jelas dengan hal ini menjadi hal yang sangat “mengancam” kader partai selanjutnya untuk menduduki posisi kepala daerah jelas. Koalisi merah putih yang dipimpin bapak wowo, memiliki anggota parpol yang bisa dibilang cukup banyak. Koalisi yang kalah pada pemilu tahun ini, mencoba untuk menggugat hasil pemilu waktu itu, namun tidak satupun gugatannya di kabulkan Mahkamah Konstitusi, padahal mereka berusaha mengumpulkan bukti autentik guna menggugat hasil pemilu dan mengadakan pemilu ulang waktu itu. Karena kekalahannya inilah kemudian mereka mencoba memutarbalikkan keadaan dengan pasti langkah strategis cara untuk melanggengkan kembali powernya untuk mendapatkan posisi kusrsi pemerintahan. Sebagai pengusung pilkada tidak langsung (dipilih melalui DPRD) ini pasti sedang ‘uncang angge’ atas keputusan sidang paripurna di DPR RI kamis lalu. Artinya langkah mereka menguasai bangku pemerintahan daerah dan memonopoli kursi pemerintahan akan sangat mudah walaupun tidak menang (red: kalah) pemilu 2014. Dengan kemenangannya inilah beberapa kadernya sibuk memberikan pemahaman bahwa proses pemilihan melalui DPRD pun merupakan bagian dari sistem demokras yang sah di Indonesia atas dasar sila ke-4. Banyak anggota atau kader atau simpatisannya melakukan hal ini melalui sosial media (termasuk beberapa kawan saya sesama mahasiswa aktivis berpartai politik melakukan hal itu) Selayaknya masyarakat sadar dan paham akan hal ini, berbagai partai politik yang ada beserta denga kepentingan elitnya sangat jarang ada yang bergerak atas dasar pemikiran atay bahkan ketulusan hatinya membela rakyat, -walaupun tak dinafikkan (mungkin) ada yang kemudian sedikit orang yang tergerak hatinya untuk kepentingan rakyat, namun pasti jumlahnya sangat sedikit-. Yang ada kemudian justru rakyat yang banyak dijejali dan di ‘cocok’ hidungnya bak kerbau yang bekerja hanya untuk kepentingan si ‘tukang angon’nya semata. Sedikit lempar isu kemudian stabilitas politik dan tak jarang nasib rakyatlah yang jadi korbannya. Mirisnya sebagian besar dari mereka kemudian bergerak atas nama kepentingan rakyat. Padahal justru rakyat yang jadi ‘alat’ kepentingan mereka guna melanggengkan kadernya mencapai puncak kekuasaan. Alih alih membela, namun justru langkahnya membuat stabilitas politik dan keamanan negeri jadi semrawut. Sangat jauh melenceng dari cita cita dan makna dari demokrasi itu sendiri. Padahal pada awal kemunculannya demokrasi adalah sebuah konsep yang berusaha menjangkau aspirasi masyarakat dalam korelasi masyarakat dan negara. Sejarah Demokrasi dalam pengertian secara etimologis adalah dari rakyat dan untuk rakyat. Artinya demokrasi sejatinya adalah sebuah konsep yang menginginkan keseimbangan kepentingan rakyat menuju proses sejahtera, damai baik lahir dan batin. Repotnya, dalam perkembangan demokrasi itu sendiri banyak pelakunya melanggar cita-cita luhur penerapan sistem demokrasi. Dalam banyak kasus demokrasi di Indonesia banyak dibajak pelaku elit politik yang pragmatis sehingga menodai makna awal demokrasi. Adanya pelanggaran ini menghasilkan banyak kekacauan seperti kerusuhan massa, kegaduhan perpolitikan nasional dan korupsi politik. Ini terjadi karena kekisruhan paradigma berdemokrasi yang salah kaprah oleh pelaku politik negeri ini. Dan yang paling mengkhawatirkan juga adalah banyak media nasional yang memainkan isu melalui diundangnya narasumber yang sejalan dengan platform media mereka agar membentuk opini publik yang relevan dengan tujuan mereka (red:media). Jelas tak disangsi kan pasti karna media pun milik mereka elit politik memang haha. Padahal setiap media wajib memberikan info yang independen dan berimbang karna bertanggung jawab atas dasar tanggung jawabya sebagai pers. JADI SISTEM YANG INDONESIA ANUT SAAT INI DEMOKRASI ATAU POLITISASI ??? Tanya pada rumput yang bergoyang. Namanya juga politik.. *Tarik Napas* #PejabatBikinSusahAjah

0 komentar:

Posting Komentar